Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

DINAMIKA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA


ilustrasi gambar/segala sumber

Bloger -  DINAMIKA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA.

Paristiyanti, dkk. (2016: 191) menjelaskan pada masa kekuasaan Orde Lama,
pemilu diselenggarakan dengan semangat demokrasi yang diikuti banyak partai politik.
Kondisi ini dinilai sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat sesuai pasal
27 UUD 1945, serta bagian dari ekspresi rakyat dalam mengikuti dan aktif pada kegiatan
perpolitikan nasional. Setelah berkompetisi secara ketat, akhirnya dimenangkan oleh
empat partai politik, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Masyumi, Partai
Nahdhatul Ulama (PNU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Polarisasi kekuatan politik
ini menegaskan masyarakat Indonesia terkategorisasi dalam banyak pilihan politik.
Tidak dapat dikatakan bahwa pemerintahan Orde Lama mengikuti sistem etika
Pancasila, bahkan muncul tudingan dari pihak Orde Baru bahwa pemilihan umum pada
zaman Orde Lama dianggap terlalu liberal. Ini disebabkan pemerintahan Soekarno
menganut sistem demokrasi terpimpin yang cenderung otoriter. Pelanggaran etika
dalam masa pemerintahan Soekarno meliputi demokrasi terpimpin dan pengangkatan
presiden seumur hidup yang bertentangan dengan spirit sila keempat dalam Pancasila.

Setelah kekuasaan Soekarno berakhir, Indonesia memasuki zaman Orde Baru di
mana sistem etika Pancasila diletakkan dalam bentuk penataran P4. Doktrinasi
Pancasila ini bertujuan menyamakan persepsi setiap warga negara dalam memahami
dan mengamalkan Pancasila pada kehidupan kesehariannya. Pada zaman Orde Baru,
muncul konsep manusia Indonesia seutuhnya sebagai cerminan manusia yang
berperilaku dan berakhlak mulia sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Manusia Indonesia
seutuhnya dalam pandangan Orde Baru, artinya manusia sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa, yang secara kodrati bersifat monodualistik, yaitu makhluk rohani
sekaligus makhluk jasmani, serta makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Manusia
sebagai makhluk pribadi memiliki emosi berupa rasa pengertian, kasih sayang, harga
diri, pengakuan, dan tanggapan emosional dari manusia lain dalam kebersamaan
hidup. Manusia sebagai makhluk sosial, memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju
dan sejahtera. Tuntutan tersebut hanya dapat terpenuhi melalui kerja sama dengan
orang lain, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, sifat kodrat manusia
sebagai makhluk individu dan sosial harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan Manusia Indonesia seutuhnya adalah makhluk monopluralis yang terdiri atas
susunan kodrat (jiwa dan raga), kedudukan kodrat (makhluk Tuhan dan makhluk yang
berdiri sendiri), dan sifat kodrat (makhluk sosial dan makhluk individual). Keenam unsur
manusia tersebut saling melengkapi satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang
bulat. Manusia Indonesia menjadi pusat persoalan, pokok, dan pelaku utama dalam
budaya Pancasila (Notonagoro dalam Asdi, 2003: 17-18).

 Pada masa kekuasaan Soeharto, pelanggaran etika Pancasila terlihat dari
maraknya kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Korupsi terjadi karena adanya
peluang dan pembiaran dari pemerintah terhadap gejala ini. Hal ini mengingat pula
adanya keterlibatan kalangan petinggi pemerintah dan keluarga Presiden dalam kasus
korupsi sehingga penyakit korupsi ini menjadi salah satu titik lemah bagi Orde Baru
dalam menjalankan kekuasaannya.

Setelah Soeharto turun dari tahta kepresidenan, Indonesia memasuki masa
reformasi. Sistem etika Pancasila pada era reformasi tenggelam dalam euforia
demokrasi. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, disadari bahwa demokrasi tanpa
dilandasi sistem etika politik akan menjurus pada penyalahgunaan kekuasaan, serta
machiavelisme (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan). Sofian Effendi,
Rektor Universitas Gadjah Mada, dalam sambutan pembukaan Simposium Nasional
Pengembangan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan
Nasional (2006: XIV) mengatakan, “Moral bangsa semakin hari semakin merosot dan
semakin hanyut dalam arus konsumerisme, hedonisme, eksklusivisme, dan ketamakan
karena bangsa Indonesia tidak mengembangkan blueprint yang berakar pada sila
Ketuhanan Yang Maha Esa.”

ESENSI PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia berperan penting dalam setiap aspek
kehidupan masyarakat Indonesia di mana salah satunya adalah Pancasila sebagai suatu
sistem etika. Dalam dunia internasional, bangsa Indonesia terkenal memiliki etika yang
baik, rakyatnya ramah tamah, dan adanya sopan santun yang dijunjung tinggi. Itu
semua tidak terlepas dari Pancasila yang berperan membentuk pola pikir bangsa
Indonesia sehingga dihargai sebagai salah satu bangsa yang beradab. Kecenderungan
menganggap kehadiran Pancasila sebagai sesuatu yang tidak penting, jelas harus
ditinggalkan sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang beradab dan berhati nurani.
Pancasila sebagai sistem etika merupakan struktur pemikiran yang disusun
untuk memberikan panduan kepada setiap warga negara Indonesia dalam bersikap

dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika bertujuan mengembangkan
dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki kemampuan
menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Manusia Indonesia sebagai salah satu anggota masyarakat ilmiah-akademik
membutuhkan sistem etika yang orisinal dan komprehensif agar dapat mewarnai setiap
keputusan yang diambilnya dalam profesi ilmiah. Keputusan ilmiah yang diambil tanpa
pertimbangan moralitas, dapat menjadi bumerang bagi dunia ilmiah itu sendiri
sehingga menjadikan dunia ilmiah itu hampa nilai (value–free).
Manusia Indonesia memiliki fungsi sebagai mahluk individu dan sosial sehingga
setiap keputusan yang diambil berdampak kepada orang lain. Pancasila sebagai sistem
etika merupakan bintang petunjuk yang dapat diimplementasikan secara nyata yang
melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, sila-sila pancasila perlu
diaktualisasikan lebih lanjut ke dalam putusan tindakan sehingga mampu
mencerminkan pribadi yang kuat dan berwawasan moral-akademis. Dengan demikian,
dapat dikembangkan karakter manusia Indonesia yang Pancasilais melalui berbagai
sikap yang positif, seperti jujur, disiplin, tanggung jawab, mandiri, dan lainnya.

Hakikat Pancasila sebagai sistem etika sebagaimana dijelaskan Paristiyanti, dkk.
(2016: 193-194) terletak pada hal-hal berikut.
1. Hakikat sila ketuhanan terletak pada keyakinan bangsa Indonesia bahwa Tuhan
sebagai penjamin prinsip-prinsip moral. Artinya, setiap perilaku warga negara harus
didasarkan atas nilai-nilai moral yang bersumber pada norma agama. Setiap prinsip
moral yang berlandaskan pada norma agama maka prinsip tersebut memiliki
kekuatan (force) untuk dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya.
2. Hakikat sila kemanusiaan terletak pada actus humanus, yaitu tindakan manusia yang
mengandung implikasi dan konsekuensi moral yang dibedakan dengan actus
hominis, yaitu tindakan manusia yang biasa. Tindakan kemanusiaan yang
mengandung implikasi moral diungkapkan dengan cara dan sikap yang adil dan
beradab sehingga menjamin tata pergaulan antarmanusia dan antarmakhluk yang
bersendikan nilai-nilai kemanusiaan yang tertinggi, yaitu kebajikan dan kearifan.
3. Hakikat sila persatuan terletak pada kesediaan untuk hidup bersama sebagai warga
bangsa yang mementingkan masalah bangsa di atas kepentingan individu atau
kelompok tertentu. Sistem etika yang berlandaskan pada semangat kebersamaan,
solidaritas sosial akan melahirkan kekuatan untuk menghadapi penetrasi nilai yang
bersifat memecah belah bangsa.
4. Hakikat sila kerakyatan terletak pada prinsip musyawarah untuk mufakat. Artinya,
menghargai diri sendiri sama halnya dengan menghargai orang lain.
5. Hakikat sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan perwujudan
dari sistem etika yang tidak menekankan pada kewajiban semata (deontologis) atau
menekankan pada tujuan belaka (teleologis), tetapi lebih menonjolkan keutamaan
(virtue ethics) yang terkandung dalam nilai keadilan itu sendiri.

KONSEP PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

Etika merupakan struktur pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan
atau panduan dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika
merupakan way of life bangsa Indonesia, sekaligus struktur pemikiran yang disusun
untuk memberikan tuntunan kepada setiap warga negara Indonesia dalam bersikap
dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika bertujuan mengembangkan
dimensi moralitas dalam diri setiap individu sehingga memiliki kemampuan
menampilkan sikap spiritualitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Mahasiswa sebagai anggota masyarakat ilmiah-akademik memerlukan
sistem etika yang orisinal dan komprehensif agar dapat mewarnai setiap keputusan
yang diambilnya dalam profesi ilmiah. Sebab keputusan ilmiah yang diambil tanpa
pertimbangan moralitas, dapat menjadi bumerang bagi dunia ilmiah itu sendiri
sehingga menjadikan dunia ilmiah itu hampa nilai (value-free) (Paristiyanti, dkk.,
2016:
173-174). Pancasila sebagai sistem etika merupakan moral guidance yang dapat
diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia secara nyata. Pancasila
dapat diaktualisasikan dalam berbagai tindakan manusia yang mencerminkan dirinya
memiliki wawasan moral-akademis, serta spritualitas yang baik. Penguasaan
pengetahuan diperlukan sebagai acuan sebelum mengambil keputusan atau tindakan,
sedangkan ketaataan beragama diperlukan sebagai sarana menjaga pribadi agar
memiliki kesalehan secara individual.

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan cara
berpikir. Secara etimologis, etika berarti ilmu tentang segala sesuatu yang biasa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup
yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun masyarakat.
Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi
yang lain. Etika dalam arti yang luas ialah ilmu yang membahas tentang kriteria baik
dan
buruk (Bertens, 1997: 4-6). Etika pada umumnya dimengerti sebagai pemikiran
filosofis
mengenai segala sesuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia.
Keseluruhan perilaku manusia dengan norma dan prinsip-prinsip yang mengaturnya itu
kerap kali disebut dengan moralitas atau etika (Sastrapratedja, 2002: 81).
Etika berkaitan dengan masalah nilai, sebagaimana dijelaskan Lacey, ada enam
pengertian nilai secara umum, yaitu: (1) Sesuatu yang fundamental yang dicari orang

sepanjang hidupnya. (2) Suatu kualitas atau tindakan yang berharga, kebaikan,
makna,
atau pemenuhan karakter untuk kehidupan seseorang. (3) Suatu kualitas atau
tindakan
sebagian membentuk identitas seseorang sebagai pengevaluasian diri,
penginterpretasian diri, dan pembentukan diri. (4) Suatu kriteria fundamental bagi
seseorang untuk memilih sesuatu yang baik di antara berbagai kemungkinan
tindakan.
(5) Suatu standar yang fundamental yang dipegang oleh seseorang ketika bertingkah
laku bagi dirinya dan orang lain. (6) Suatu ”objek nilai”, suatu hubungan yang tepat
dengan sesuatu yang sekaligus membentuk hidup yang berharga dengan identitas
kepribadian seseorang. Objek nilai mencakup karya seni, teori ilmiah, teknologi, objek
yang disucikan, budaya, tradisi, lembaga, orang lain, dan alam itu sendiri (Lacey,
1999:
23).
Etika sering diidentikkan dengan etiket. Padahal secara pengertian, etika berarti
moral, sedangkan etiket lebih mengacu pada pengertian sopan santun dan adat
istiadat. Jika dilihat dari asal-usul katanya, etika berasal dari kata “ethos”, sedangkan
etiket berasal dari kata “etiquette”. Keduanya mengatur perilaku manusia secara
normatif, tetapi etika lebih mengacu ke filsafat moral yang merupakan kajian kritis
tentang baik dan buruk. Etiket mengacu kepada cara yang tepat, yang diharapkan,
serta
ditentukan dalam suatu komunitas tertentu. Contoh etika, misal mencuri termasuk
pelanggaran moral, tidak penting apakah dia mencuri dengan tangan kanan atau
tangan kiri. Etiket, misalnya terkait dengan tata cara berperilaku dalam pergaulan,
seperti makan dengan tangan kanan dianggap lebih sopan atau beretiket (Bertens,
1997: 9, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).
Ada beberapa aliran etika yang dikenal dalam bidang filsafat, meliputi etika
keutamaan, teleologis, deontologis. Etika keutamaan atau etika kebajikan adalah teori
yang mempelajari keutamaan (virtue). Artinya, mempelajari tentang perbuatan
manusia
itu baik atau buruk. Etika kebajikan ini mengarahkan perhatiannya kepada keberadaan
manusia, lebih menekankan pada “What should I be?” atau “Saya harus menjadi
orang
yang bagaimana?”. Beberapa watak yang terkandung dalam nilai keutamaan adalah
baik hati, kesatria, belas kasih, terus terang, bersahabat, murah hati, bernalar,
percaya
diri, penguasaan diri, sadar, suka bekerja bersama, berani, santun, jujur, terampil,
adil,
setia, ugahari (bersahaja), disiplin, mandiri, bijaksana, peduli, dan toleran (Mudhofir,

Etika teleologis adalah teori yang menyatakan bahwa hasil dari tindakan moral
menentukan nilai tindakan atau kebenaran tindakan dan dilawankan dengan
kewajiban. Seseorang mungkin berniat sangat baik atau mengikuti asas-asas moral
yang tertinggi, akan tetapi hasil tindakan moral itu berbahaya atau jelek maka
tindakan
tersebut dinilai secara moral sebagai tindakan yang tidak etis. Etika teleologis ini
menganggap nilai moral dari suatu tindakan dinilai berdasarkan pada efektivitas
tindakan tersebut dalam mencapai tujuannya. Etika teleologis ini juga menganggap
bahwa di dalam kebenaran dan kesalahan suatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan

akhir yang diinginkan (Mudhofir, 2009: 214, dalam Paristiyanti, dkk., 2016). Aliran-
aliran

etika teleologis, meliputi eudaemonisme, hedonisme, dan utilitarianisme.
Etika deontologis adalah teori etis yang bersangkutan dengan kewajiban moral
sebagai hal yang benar, bukan membicarakan tujuan atau akibat. Kewajiban moral
bertalian dengan kewajiban yang seharusnya, kebenaran moral atau kelayakan, dan
kepatutan. Kewajiban moral mengandung kemestian untuk melakukan tindakan.
Pertimbangannya adalah tentang kewajiban moral lebih diutamakan daripada
pertimbangan tentang nilai moral. Konsep-konsep nilai moral (yang baik) dapat
didefinisikan berdasarkan pada kewajiban moral atau kelayakan rasional yang tidak

dapat diturunkan, dalam arti tidak dapat dianalisis (Mudhofir, 2009: 141, dalam
Paristiyanti, dkk., 2016).
Etika Pancasila adalah cabang filsafat yang dijabarkan dari sila-sila Pancasila
untuk mengatur perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
Indonesia. Dalam etika Pancasila, terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan yang membentuk perilaku manusia Indonesia
dalam semua aspek kehidupannya. Sila ketuhanan mengandung dimensi moral
berupa
nilai spiritualitas yang mendekatkan diri manusia kepada Sang Pencipta dan ketaatan
kepada nilai agama yang dianutnya. Sila kemanusiaan mengandung dimensi humanus
yang artinya menjadikan manusia lebih manusiawi, yaitu upaya meningkatkan kualitas
kemanusiaan dalam pergaulan antarsesama. Sila persatuan mengandung dimensi nilai
solidaritas, rasa kebersamaan (mitsein), dan cinta tanah air. Sila kerakyatan
mengandung dimensi nilai berupa sikap menghargai orang lain, mau mendengar
pendapat orang lain, dan tidak memaksakan kehendak kepada orang lain. Sila
keadilan
mengandung dimensi nilai mau peduli atas nasib orang lain, serta kesediaan
membantu kesulitan orang lain (Paristiyanti, dkk., 2016: 180-181).

Etika Pancasila itu lebih dekat pada pengertian etika keutamaan atau etika
kebajikan, meskipun corak kedua etika yang lain, deontologis dan teleologis termuat
pula di dalamnya. Namun, etika keutamaan lebih dominan karena etika Pancasila
tercermin dalam empat tabiat saleh, yaitu kebijaksanaan, kesederhanaan, keteguhan,
dan keadilan. Kebijaksanaan artinya melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh
kehendak yang tertuju pada kebaikan, serta atas dasar kesatuan akal-rasa-kehendak
yang berupa kepercayaan yang tertuju pada kenyataan mutlak (Tuhan) dengan
memelihara nilai-nilai hidup kemanusiaan dan nilai-nilai hidup religius. Kesederhaaan
artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam hal kenikmatan.
Keteguhan artinya membatasi diri dalam arti tidak melampaui batas dalam
menghindari penderitaan. Keadilan artinya memberikan sebagai rasa wajib kepada
diri
sendiri dan manusia lain, serta terhadap Tuhan terkait dengan segala sesuatu yang
telah menjadi haknya (Mudhofir, 2009: 386, dalam Paristiyanti, dkk., 2016).


Posting Komentar untuk "DINAMIKA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA"